Danau Tondano adalah
danau terluas di Provinsi Sulawesi Utara. Danau ini diapit oleh pegunungan
Lambean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang. Danau ini merupakan
danau penghasil ikan air tawar seperti ikan mujair,pior/kabos, udang kecil, arwana, tawes, pongkor, bontayan, lobster
hitam, gurame dsb.
Di tepi danau Tondano
terlihat jelas Gunung Kaweng. Danau Tondano merupakan
danau vulkanik yang terbentuk dari aktivitas gunung berapi berpuluh juta tahun
yang lalu. Oleh karena itu, jangan kaget jika air keran di kawasan ini bukannya
dingin, malah hangat. Sebab, kawasan Danau Tondano mengandung belerang. Konon danau ini terjadi karena
letusan yang dahsyat akibat sepasang insan yang berlainan jenis melanggar
larangan orang tua untuk kawin (bahasa Minahasa: Kaweng) dengan nekat lari
(tumingkas) di hutan. Sebagai akibat melanggar larangan orang tua maka meletus
kembaran gunung Kaweng tersebut menjadi danau Tondano.
Luas danau ini 4278 ha,
dan terdapat pulau kecil di tengah danau. Yaitu pulau Likri (didepan desa
Tandengan), dan pulau Papalembet (didepan Toulumembet). Danau Tondano mempunyai
obyek wisata yang terkenal yaitu “Sumaro Endo” Remboken, dan Resort wisata
Bukit Pinus. Refleksi permukaan danau yang sangat teduh, fantastik,
menggambarkan kembali bayangan bukit dan langit berawan tipis diatasnya.
Danau
Tondano merupakan salah satu sumber daya
penting bagi masyarakat
Sulawesi Utara, terutama
masyarakat yang bermukim di
Minahasa dan Kota
Manado. Beberapa kebutuhan vital
masyarakat seperti air minum,
air irigasi, pembangkit
listrik dan lain sebagainya
dipenuhi melalui air dari danau Tondano.
Danau Tondano juga
merupakan danau rekreasi. Artinya kita dapat menjadikan danau Tondano sebagai
tujuan rekreasi. Jalan-jalan berkeliling danau Tondano menyajikan panorama
menawan yang menyejukan hati. Sekeliling danau Tondano juga terdapat berbagai
tempat untuk beristirahat seperti tempat-tempat makan.
Peledakan
tumbuhan akuatik merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi pengayaan
unsur hara atau eutrofikasi di Danau Tondano. Penebangan hutan, kegiatan
pertanian serta pemukiman penduduk hingga ke tepi danau menyebabkan lahan
menjadi terbuka. Partikel tanah dan sisa-sisa pupuk dengan mudah dibawa oleh
air hujan masuk ke dalam danau. Selain itu kebiasaan penduduk yang menjadikan
badan air sebagai tempat membuang sampah, juga makin mempercepat pengayaan
unsur hara.
Masalah
eutrofikasi merupakan masalah serius karena perkembangan selanjutnya yaitu
danau akan berlumpur, kemudian akan terbentuk rawa dan pada akhirnya wujud
danau akan hilang dan menjadi daratan. Sekarang ini Danau Tondano mulai nampak
kurang indah karena di mana-mana dipenuhi eceng gondok (Eichornia crassipes).
Saat ini kehadiran eceng gondok telah menimbulkan gangguan pada kegiatan PLTA
serta lalu lintas danau. Untuk kestabilan kegiatan PLTA, sekitar 40 kubik eceng
gondok harus dikeluarkan dari danau Tondano setiap hari.
Komposisi
tumbuhan akuatik di danau Tondano terdiri atas E. crassipes 30% hingga
78%, I. aquatica 8% hingga 33% dan sisanya ditempati oleh tumbuhan lain.
Melimpahnya kedua jenis tumbuhan tersebut selain disebabkan oleh sifat keduanya
yang cepat berkembang, juga ditunjang oleh ketersediaan hara yang tinggi di
danau. Dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun telah terjadi peningkatan unsur
hara yang sangat tinggi di Danau Tondano. Menurut Odum (1993), percepatan
pengayaan unsur hara (eutrofikasi) dalam danau biasanya disebabkan oleh sistem
pengelolaan ekosistem DAS yang keliru.
Selain
itu terdapat problem ribuan ikan yang mati mendadak di danau Tondano.
Fenomena kematian
mendadak hampir 300 ton ikan beberapa hari terakhir, diduga
akibat aktivitas vulkanik gunung berapi. Dugaan tersebut didasarkan pada
tingginya kandungan belerang yang umumnya ditemukan di sekitar Desa Kaweng dan
Tolimembet. Ribuan ikan yang mati di Danau Tondano bisa saja diakibatkan
aktivitas gunung-gunung yang berada di sekitar danau tersebut. Tapi,
hingga kini belum ada penelitian untuk mengetahui keterkaitan tersebut.
Dari
segi ekonomi, kondisi ini memukul nelayan di pesisir Tondano. Maydi Paulus ,
misalnya, meratapi nasib karena usaha peternakan ikannya merugi. Sejumlah
nelayan masih tampak membersihkan sisik dan isi perut ikan yang telah
mati. Mereka berusaha mengais rejeki, agar bisa bertahan hidup dengan
kondisi hasil kritis.
Demikian
pula dengan sektor pariwisata. Matinya ikan di Danau Tondano telah
mempengaruhi kunjungan wisatawan, terutama di akomodasi dan restoran di
sepanjang tepi Tondano. Isu mistik pun muncul, sehingga banyak wisatawan
terutama yang berasal dari luar Sulut. Mereka lebih memilih bertahan di
Manado dari mengunjungi Tondano.
Setiap
tahun, debit air
danau itu turun sekitar 40 hingga 50 Cm dan bisa kering 15
hingga 20 tahun mendatang. Hama enceng gondok pun sempat menjadi kambing
hitam. Kondisi Danau Tondano diperparah dengan ancaman pemanasan
global, tidak adanya penghijauan, meningkatnya aktifitas masyarakat, pembalakan
liar, kebakaran, konversi hutan, pertambangan golongan C yang mengakibatkan
erosi dan sedimentasi.
Akibat
degradasi lingkungan di danau itu, kedalaman danau menjadi sekitar 20 meter
dari permukaan, padahal dalam sejarah Tondano tercatat danau Tondano
tahun 1934 dalamnya mencapai 40 meter, sedangkan tahun 1983 sekitar 27 meter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar